Rabu, 12 Januari 2011

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR

A.      DEFINISI
Fraktur merupakan kondisi patah maupun terputusnya kontinuitas jaringan tulang. ( Donna, 1999 ). Fraktur bisa terjadi di bagian tubuh mana saja dan dialami oleh pasien di semua tingkatan usia. Semua fraktur mempunyai mekanisme patofisiologi dan manajemen keperawatan yang sama walaupun pada jenis dan lokasi yang berbeda.

B.       ETIOLOGI
Penyebab terjadinya fraktur yang diketahui adalah sebagai berikut :
a.         Trauma langsung ( direct )
Fraktur yang disebabkan oleh adanya benturan langsung pada jaringan tulang seperti pada kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, dan benturan benda keras oleh kekuatan langsung.
b.         Trauma tidak langsung ( indirect )
Fraktur yang bukan disebabkan oleh benturan langsung, tapi lebih disebabkan oleh adanya beban yang berlebihan pada jaringan tulang atau otot , contohnya seperti pada olahragawan / pesenam yang menggunakan hanya satu tangannya untuk menumpu beban badannya.
c.         Trauma pathologis
Fraktur yang disebabkan oleh proses penyakit seperti osteomielitis, osteosarkoma, osteomalacia, Cushing Syndrome, komplikasi kortison / ACTH, osteogenesis imperfecta (ggn. Congenital yang mempengaruhi pembentukan osteoblast). Terjadi karena struktur tulang yang lemah dan mudah patah.
d.        Torsio, terjadi pada titik perputaran dari lokasi tekanan, misalnya memutar kaki dengan sangat kuat dapat mematahkan tulang kaki.







PATYWAYS

Trauma langsung                     trauma tidak langsung                         kondisi patologis



 

                                                      FRAKTUR
nyeri
 
                                               
Diskontinuitas tulang        pergeseran frakmen tulang            







 

Perub jaringan sekitar                                                  kerusakan frakmen tulang

Pergeseran frag  Tlg    laserasi kulit:   spasme otot                tek. Ssm tlg > tinggi dr kapiler
Kerusakan integritas kulit
 
                                           
                                                            peningk tek kapile   reaksi stres klien
deformitas
                                                            pelepasan histamin         melepaskan katekolamin
gg. fungsi                                                         
                                                       protein plasma hilang       memobilisai asam lemak
                         
Gg mobilitas fisik
 
                                                             edema                   bergab dg trombosit
                              
                                                                                                  emboli
        penekn pem. drh
                                                                                          menyumbat pemb drh
                                                       penurunan perfusi jar
                         
gg.perfusi jar
 
                                                                       
 




C.                PATHOFISIOLOGI
Fraktur dapat diklasifikasikan dalam :
a.       Pola fraktur
b.      Lokasi fraktur
Ad. a.) Pola Fraktur, dapat lagi diklasifikasikan sebagai berikut :
1.Fraktur tertutup / simple fracture
Merupakan fraktur dengan kondisi jaringan kulit sekitar masih utuh, atau tidak ada hubungan dengan dunia luar
            2.Fraktur terbuka / compound fracture
Merupakan fraktur yang merusak jaringan kulit sekitar, sehingga jaringan tulang keluar dan terjadi hubungan dengan dunia luar.
Fraktur terbuka, dibagi menjadi 3 grade, yaitu :
·         Grade I
Fraktur hanya menyebabkan kerusakan / tusukan yang minimal pada jaringan sekitar. Luas luka < 1 cm dengan kontaminasi minimal.
·         Grade II
Kerusakan / tusukan sudah mengenai jaringan otot.  Luas luka > 1 cm dengan kontaminai sedang.
·         Grade III
Kerusakan / tusukan lebih besar ( 6-8 cm ), kerusakan sudah mengenai pembuluh darah, saraf, otot dan kulit dengan kontaminasi berat.
            3.Fraktur Komplit
Garis fraktur memotong sepanjang periosteum, sehingga tulang terbelah menjadi 2 bagian.
            4.Fraktur Inkomplit
Fraktur yang tidak membagi tulang menjadi 2 karena patahan hanya terjadi pada sebagian sisi tulang
            5.Fraktur Comminuted
                        Fraktur yang membagi tulang menjadi beberapa bagian / remuk
            6.Fraktur Impacted / Kompresi
                        Fraktur yang menekan jaringan yang ada di bawahnya, seperti pada fraktur
                        Servical dan fraktur vertebra.
            7.Fraktur Pathologis   
                        Biasanya terjadi karena proses penyakit, seperti keganasan
            8.Fraktur Greenstick
                        Merupakan fraktur yang terjadi pada sebagian fragmen tulang
            Ad. b.) Lokasi fraktur dapat diklasifikasikan sebagi berikut :
1.      Colle’s fracture
Fraktur yang terjadi pada distal ulnaris +/- 1 cm dari permukaan sendi
2.      Artilucular fracture
Fraktur pada permukaan sendi
3.      Extracapsular fracture
Fraktur di dekat sendi tetapi tidak masuk ke dalam kapsul sendi
4.      Intracapsular fracture
Fraktur yang terjadi di dalam kapsul sendi
5.      Epiphysieal fracture
Fraktur yang terjadi pada pusat ossifikasi
Proses penyembuhan tulang :
1.      Formasi hematom
Dalam 24 jam proses penghentian perdarahan terjadi. Fibrin terbentuk untuk melindungi daerah fraktur. Kapiler baru terbentuk. Suplai darah meningkat setelah 24 jam. Daerah yang terluka diinvasi oleh makrofag yang membersihkan area, muncul peradangan, penebalan, dan nyeri.  Perbaikan pada fase ini ditandai dengan penurunan nyeri dan penebalan.
2.      Proliferasi sel
Proliferasi terjadi setelah 5 hari, juga terjadi diferensiasi fibrokratilago, hyaline pada daerah fraktur menjadi osteogenesis, tulang membesar, sudah mulai terbentuk jembatan fraktur. Mulai juga terbentuk fibrin diantara clot membuat jaringan untuk revaskularisasi dan invasi fibroblast dan osteoblast. Fibroblast dan osteoblas menghasilkan kolagen dan proteoglikans untuk membentuk matrix kolagen pada tempat fraktur. Jaringan kartilago dan fibrosa berkembang.
3.      Formasi procallus
Sudah terbentuk matriks dan kartilago, anatar matriks dan tulang sudah terbentuk jembatan, terjadi pada hari 6-10.
4.      Ossifikasi
Terjadi kalus permanent yang kaku karena terjadi deposi garam kalsium. Pertama terjadi pada external kalus ( antara kortex dan periosteum ). Pada waktu 3-10 minggu kalus berubah menjadi tulang.
5.      Konsolidasi dan remodeling
Terbentuk tulang yang kuat akibat aktifitas osteoblast dan osteoklast. Pembentukan tulang sesuai dengan hukum Wolff’s ; struktur tulang terbentuk sesuai dengan fungsinya yaitu adanya tekanan dan tarikan. Waktu yang dibutuhkan sampai 1 tahun. Proses perkembangan pertumbuhan tulang dimonitor dengan pemeriksaan roentgen.

Faktor yang mempengar uhi penyembuhan fraktur:
·         Imobilisasi fragman tulang
·         Maksimum kontak dari fragmen tulang
·         Suplai darah yang adekuat
·         Nutrisi yang baik
·         Hormon pertumbuhan, tiroid, kalsitonin, vitamin D, Steroid anabolic
·         Potensial elektrik
Faktor yang menghambat penyembuhan tulang:
·         Trauma lokasi yang luas
·         Bone loss
·         Imobilisasi yang tidak adekuat
·         Adanya jarak/jaringan antara fragmen tulang
·         Infeksi
·         Keganasan local
·         Penyakit metabolic tulang
·         Nekrosis
·         Usia
·         Kortikosteroid

D.                KOMPLIKASI
1.         Komplikasi Dini
a.       Acute Compartemen Syndrome ( ACS )
Compartemen merupakan suatu rongga otot inelastic yang menampung otot, pembuluh darah, dan saraf. ACS merupakan kondisi yang serius, dimana terjadi peningkatan tekanan di dalam kompartemen sebagai akibat dari bertambahnya massa, sehingga menyebabkan gangguan sirkulasi, manifestasi yang biasanya terjadi adalah nyeri hebat.
b.      Syok hipovolemik
Terjadi karena adanya robekan arteri atau pembuluh darah besar seperti pada fraktur femur atau pelvic, kehilangan darah yang banyak akan mengakibatkan syok hipovelemik.
c.       Fat Embolism Syndrome ( FES )
Disebabkan karena adanya pelepasan emboli lemak dari sumsum tulang kuning yang lepas ke aliran darah sistemik, biasanya terjadi pada fraktur tulang panjang atau juga multiple fracture.
Beberapa teori yang menjelaskan terjadinya FES :
-          Teori metabolic
Adanya trauma menyebabkan peningkatan katekolamin sehingga terjadi mobilisasi butiran lemak, hal ini berakibat terbentuknya agregasi trombosit dan emboli lemak.
-          Teori mekanik
Menjelaskan mengenai tingginya tekanan di sumsum tulang disbanding tekanan di kapiler, sehingga lemak dilepaskan secara langsung oleh tulang.
d.      Tromboemboli
Deep Venous Thrombosis ( DVT ) sering terjadi pada pasien yang imobilisasi, seperti pada fraktur femur dan pelvic.
e.       Infeksi
Adanya trauma pada jaringan mengganggu system pertahanan tubuh, ataupun karena pemasangan alat-alat ortopedik. Infeksi bisa terjadi mulai dari yang superficial sampai ke infeksi jaringan yang dalam.
f.       Kerusakan arteri
Kerusakan oleh kontusio, thrombus, laserasi atau spasme. Penyebab: pemasangan gips, pembebatan gips terlalu kuat.  Tanda: pulsasi(-), bengkak, pucat, sianosis pada bagian distal femur.
g.      Cedera saraf
Penyebab: laserasi dan edema.  Tanda: parestesia, paralise, pucat, dingin pada extremitas, nyeri meningkat, perrubahan kemampuan gerak.
            2. Kompilkasi Lanjut
a.  Nekrosis avaskuler
Disebut juga sebagai nekrosis aseptic atau iskemik atau juga osteonekrosis, disebabkan oleh adanya gangguan aliran darah sehingga menyebabkan kematian jaringan.
b. Delayed union, nonunion, mal union.
Delayed union terjadi bila penyembuhan fraktur lebih dari 6 bulan, nonunion diartikan sebagai gagal tersambungnya tulang yang fraktur, sedangkan malunion adalah penyambungan yang tidak normal pada fraktur.

E.                 MANIFESTASI KLINIS
Secara umum manifestasi atau gejala klinis yang muncul pada fraktur adalah:
·         Nyeri
·         Deformitas
·         Functio laesa
·         Shortening
·         Krepitus
·         Penebalan local/ pembengkakan
·         Diskolorasi
Untuk mengetahui lebih jelas tanda dan gejala klinis dari fraktur diperlukan pengkajian keperawatan yang sistematis untuk menegakkan diagnosa keperawatan dengan menggunakan format pengkajian keperawatan yang diambil dari Doenges, 2000;
a.       Aktivitas / istirahat :
□ Keterbatasan / kehilangan fungsi pada bagian yang terkena
b.      Sirkulasi ;
□ Hipertensi, □ takikardi, □ penurunan / taka ada nadi pada bagian distal yang cedera, □ kapilary refill lambat, □ pucat pada bagian yang terkena, □ pembengakan jaringan atau massa hematoma pada sisi cedera
c.       Neurosensori ;
□ Hilang gerakan / sensasi, □ spasme otot, □ kebas/kesemutan, □ deformitas, □ krepitasi, □ pemendekan, □ rotasi, □ angulasi abnormal
d.      Nyeri / kenyamanan :
□ Nyeri hebat./akut, □ tak ada nyeri karena kerusakan saraf, □ spasme
e.       Keamanan
□ Laserasi kulit, □ perdarahan, □ perubahan warna, □ pembengkakan
f.       Penyuluhan / pembelajaran ;
□ lingkungan cedera

F.                 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Sinar Rontgent : menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma
Scan tulang,CT Scan, MRI : memperlihatkan fraktur, mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak
Arteriogram ; Dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai
Hitung darah lengkap : Ht ↑ / ↓, leukosit ↑
Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal
Profil koagulasi : pada keadaan kehilangan darah banyak, transfuse multiple, atau cedera hati

G.                PENATALAKSANAAN MEDIS
Prinsip penatalaksanaan medis pada fraktur dikenal dengan istilah 4 R, yaitu :
a.       Rekognisi
Mampu mengenal  fraktur ( jenis, lokasi, akibat ) untuk menentukan intervensi selanjutnya.
b.      Reduksi
Tindakan dengan membuat posisi tulang mendekati keadaan normal, dikenal dengan 2 jenis reduksi, yaitu :
a.       Reduksi tertutup
Mengembalikan pergerakan dengan cara manual ( tertutup ) dengan tarikan untuk menggerakkan ujung fragmen tulang.
b.      Reduksi terbuka
Pembedahan dengan tujuan memasang alat untuk mempertahankan pergerakan dengan plate, screw, pin, wire, nail.
c.       Retensi
Melakukan imobilisasi, dengan pemasangan gips, imobilisasi external yang dikenal dengan Fixation External Djoko Sharov ( FEDS ), dan imobilisasi internal ( ORIF )
d.      Rehabilitasi
Mengembalikan fungsi ke semula termasuk fungsi tulang, otot dan jaringan sekitarnya. Bisa dilakukan dengan cara sebagai berikut:
·         Mempertahankan reduksi dan imobilisasi
·         Elevasi untuk meminimalkan swelling, bisa dilakukan kompres dingin
·         Monitor status neurovaskuler (sirkulasi, nyeri, sensasi, pergerakan)
·         Kontrol ansietas dan nyeri
·         Latihan isometric untuk mencegah atrofi, mempertahankan sirkulasi.
·         Partisipasi pada kegiatan sehari-hari
·         Gradual resumption of activity

Jenis-jenis tindakan /penanganan medis pada fraktur:
a.                                                             Rest / mengistirahatkan ekstremitas
Tujuan:
·         Mempercepat penyembuhan
·         Meminimalkan terjadinya inflamasi, bengkak dan nyeri
·         Imobilisasi tulang/sendi
b.                                                            Traksi
Merupakan tindakan dengan memberikan suatu tarikan dengan 2 arah yang berlawanan, juga ditambahkan dengan adanya beban untuk menarik.
Tujuan:
·         Mengurangi fraktur dan atau dislokasi, mempertahankan alignment
·         Mengurangi spasme otot dan nyeri, meningkatkan excercise
·         Melakukan koreksi, mengurangi dan mencegah deformitas tulang

Jenis-jenis Traksi:
-          Skeletal traction
Merupakan tindakan operatif dengan memasang wire (Kirschner wire) atau pin (Steimenn pin) di bagian distal tulang yang fraktur.
Misalnya: Buck’s atau Russel’s Traction
-          Skin traction
Digunakan sebagai traksi pada tulang dan jaringan sekitarnya, seperti otot. Cara pemasangannya dengan memberikan beban yangberlawanan dari badan klien

c.                                                             Pemasangan Gips
Merupakan tindakan memasang plaster atau fiberglass pada area fraktur.
Tujuan:
·         Imobilisasi
·         Mencegah dan mengoreksi deformitas
·         Mempertahankan alignment
·         Mempercepat penyembuhan
d.                                                            Reduksi Internal
Salah satunya adalah tindakan ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
Merupakan tindakan pembedahan dengan melakukan insisi pada derah fraktur, kemudian melakukan implant pins, screw, wires, rods, plates dan protesa pada tulang yang patah
Tujuan:
·         Imobilisasi sampai tahap remodeling
·         Melihat secara langsung area fraktur

e.                                                             Reduksi Externa ( FEDS: Fiksasi Eksternal Djoko Sarov )
Merupakan tindakan pembedahan dengan melakukan insisi kecil perkutaneus untuk memasang pins pada tulang yang patah dan menyambungkan pins pada frame metal eksternal yang cukup besar, mencegah pergerakan.
Manfaat:
·         Mengakibatkan perdarahan minimal dibanding ORIF
·         Ambulasi dan mobilisasi sendi bisa dilakukan dini, mengurangi nyeri
·         Mempermudah perawatan luka di sekitar fraktur

f.                                                             Pembedahan
·         Arthroplasty: Memperbaiki sendi melalui arthroscope (alat pembedahan tanpa insisi luas) atau pembedahan persendian terbuka.
·                                             Menisectomy: Eksisi persendian fibrokartilago yang rusak
·                                             Vacsiotomy: Insisi otot vacsia, menyembuhkan konstriksi otot, cegah kontraktur
·         Bone graft: Penempatan jaringan tulang untuk mempercepat penyembuhan, stabilisasi dan mengganti tulang yang terkena penyakit.
·                                             Amputasi : pemotongan bagian tubuh
·                                             Joint Replacement: Substitusi persendian dengan material logam / sintetik
·                                             Total Joint Replacement: mengganti kedua artikular sendi dg logam/sintetik
·                                             Transfer tendon: Insersi tendon untuk memperbaiki fungsi

H. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata maupun potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan (Boedihartono, 1994 : 17).
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan post op fraktur (Wilkinson, 2006) meliputi :
1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/immobilisasi, stress, ansietas
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan oleh terdapat luka / ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan, turgor kulit buruk, terdapat jaringan nekrotik.
3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan, kerusakan muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan.
4. Resiko tinggi gangguan pertukaran gas dengan faktor resiko gangguan aliran darah, emboli lemak, perubahan membrane alveolar/kapiler,
I.  INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI
Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono, 1994:20)
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995:40).
Intervensi dan implementasi keperawatan yang muncul pada pasien dengan post op frakture Olecranon (Wilkinson, 2006) meliputi :
1. Nyeri adalah pengalaman sensori serta emosi yang tidak menyenangkan dan meningkat akibat adanya kerusakan jaringan aktual atau potensial, digambarkan dalam istilah seperti kerusakan ; awitan yang tiba-tiba atau perlahan dari intensitas ringan samapai berat dengan akhir yang dapat di antisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari enam bulan.
Tujuan : nyeri dapat berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil : - Nyeri berkurang atau hilang
- Klien tampak tenang.
Intervensi dan Implementasi :
a. Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga
R/ hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif
b. Kaji tingkat intensitas dan frekwensi nyeri
R/ tingkat intensitas nyeri dan frekwensi menunjukkan skala nyeri
c. Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri
R/ memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien tentang nyeri.
d. Observasi tanda-tanda vital.
R/ untuk mengetahui perkembangan klien
e. Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesik
R/ merupakan tindakan dependent perawat, dimana analgesik berfungsi untuk memblok stimulasi nyeri.

2. Kerusakan integritas kulit adalah keadaan kulit seseorang yang mengalami perubahan secara tidak diinginkan.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
Kriteria Hasil : - tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
a. Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.
R/ mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah dalam melakukan tindakan yang tepat.
b. Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
R/ mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah intervensi.
c. Pantau peningkatan suhu tubuh.
R/ suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai adanya proses peradangan.
d. Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan steril, gunakan plester kertas.
R/ tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi.
e. Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement.
R/ agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada area kulit normal lainnya.
f. Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
R/ balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung kondisi parah/ tidak nya luka, agar tidak terjadi infeksi.
g. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
R / antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme pathogen pada daerah yang berisiko terjadi infeksi.

3. Hambatan mobilitas fisik adalah suatu keterbatasan dalam kemandirian, pergerakkan fisik yang bermanfaat dari tubuh atau satu ekstremitas atau lebih.
Tujuan : pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
Kriteria hasil : - penampilan yang seimbang..
- melakukan pergerakkan dan perpindahan.
- mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik :
    0 = mandiri penuh
    1 = memerlukan alat Bantu.
    2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran.
    3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu.
    4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
Intervensi dan Implementasi :
a. Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.
R/ mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.
b. Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
R/ mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas apakah karena ketidakmampuan ataukah ketidakmauan.
c. Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.
R/ menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.
d. Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
R/ mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
e. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
R/ sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan mempertahankan/meningkatkan mobilitas pasien.

4. Resiko tinggi gangguan pertukaran gas dengan faktor resiko gangguan aliran darah, emboli lemak, perubahan membrane alveolar/kapiler,
Klien dapat mempertahankan fungsi nafas yang adekuat
Ditandai dengan ;
  • Tidak ada dispnea/sianosis
Frekuensi nafas dan AGD dalam batas normal
Intervensi dan Implementasi :
Mandiri ;
a. Awasi frekuensi pernafasan dan upayanya. Perhatikan stridor, sianosis
R/ Takipnea, dispnea adalah tanda awal insufisiensi nafas yang dapat menjadi indicator awal emboli paru
b. Auskultasi bunyi nafas,amati abnormalitas :hiperresonan, ronkhi
R/ Perubahan dalam/adanya bunyi adventisius menandakan terjadinya komplikasi pernafasan (atelektasis,pneumoni)
c. Atasi cedera dengan lembut  
R/ Mencegah emboli lemak ( pada 12-17 jam pertama )
d. Latih nafas dalam, ubah posisi sering
R/ Meningkatkan ventilasi alveolar perfusi & drainase sekret
e. Awasi kegelisahan,letargi,kacau mental
R/ Menandakan terjadinya hipoksemia/asidosis
f. Observasi sputum adanya darah
R/ Menandakan adanya emboli paru
g. Inspeksi adanya ptekie pada garis atas putting.aksila,abdomen, mukosa mulut
R/ Merupakan tanda khas emboli lemak pada paru, yang tampak dalam 2-3 hari setelah cedera
h. Kolaborasi :
Bantu dalam spirometri
Berikan O2 sesuai indikasi
Memaksimalkan ventilasi/oksigenasi,mencegah atelektasis
Meningkatkan suplai O2 untuk oksigenasi jaringan

J.EVALUASI

Evaluasi addalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001).


Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan post operasi fraktur adalah :

1.Nyeri dapat berkurang atau hilang setelah dilakukan tindakan keperawatan.
2.Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
3.Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai
4.Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.



DAFTAR PUSTAKA


Brunner dan Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3, EGC, Jakarta
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. EGC : Jakarta.
Smeltzer Suzanne, C (1997). Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart. Edisi 8. Vol  Jakarta. EGC
Price Sylvia, A (1994), Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jilid 2 . Edisi  Jakarta. EGC


DETEKSI DINI GANGGUAN KETERLAMBATAN PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN PADA ANAK

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak yang sehat, cerdas, berpenampilan menarik, dan berakhlak mulia merupakan dambaan setiap orang tua. Agar dapat mencapai hal tersebut terdapat berbagai kriteria yang harus terpenuhi dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, salah satunya adalah faktor keturunan atau genetika. Namun, selain faktor keturunan masih terdapat faktor lain yang mempengaruhi kualitas seorang anak.
Kualitas seorang anak dapat dinilai dari proses tumbuh kembang. Proses tumbuh kembang merupakan hasil interaksi faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik/keturunan adalah faktor yang berhubungan dengan gen yang berasal dari ayah dan ibu, sedangkan faktor lingkungan meliputi lingkungan biologis, fisik, psikologis, dan sosial.
Pertumbuhan dan perkembangan mengalami peningkatan yang pesat pada usia dini, yaitu dari 0 sampai 5 tahun. Masa ini sering juga disebut sebagai fase ”Golden Age”. Goldenage merupakan masa yang sangat penting untuk memperhatikan tumbuh kembang anak secara cermat agar sedini mungkin dapat terdeteksi apabila terjadi kelainan. Selain itu, penanganan kelainan yang sesuai pada masa golden age dapat meminimalisir kelainan pertumbuhan dan perkembangan anak sehingga kelaianan yang bersifat permanen dapat dicegah.
Pemantauan tumbuh kembang anak meliputi pemantauan dari aspek fisik, psikologi, dan sosial. Pemantauan tersebut harus dilakukan secara teratur dan berkesinambungan. Sedini mungkin pemantauan dapat dilakukan oleh orang tua. Selain itu pemantauan juga dapat dilakukan oleh masyarakat melalui kegiatan posyandu dan oleh guru di sekolah. Oleh karena itu, pengetahuan tentang deteksi dini gangguan keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan anak perlu dimiliki oleh orang tua, guru, dan masyarakat.

B. Perumusan Masalah
Kualitas seorang anak dapat dinilai dari proses tumbuh kembang. Proses tumbuh kembang merupakan hasil interaksi faktor genetik dan faktor lingkungan. Pemantauan tumbuh kembang anak meliputi pemantauan dari aspek fisik, psikologi, dan sosial. Pemantauan tersebut harus dilakukan secara teratur dan berkesinambungan. Sedini mungkin pemantauan dapat dilakukan oleh orang tua. Oleh karena itu penulis mencoba mengangkat masalah deteksi dini gangguan keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan pada anak.

C. Tujuan
Tujuan umum
Mengetahui bagaimana melakukan pendeteksian dini terhadap gangguan keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan pada anak.
Tujuan khusus
      1.            Mengetahui deteksi dini pertumbuhan dan perkembangan pada anak.
      2.            Mengetahui gangguan keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan pada anak
      3.            Mengetahui pengertian pertumbuhan dan perkembangan pada anak
      4.            Mengetahui tahap dan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan pada anak.




















BAB II
PEMBAHASAN

A.    DETEKSI DINI
Deteksi dini merupakan upaya penjaringan yang dilaksanakan secara komprehensif untuk menemukan penyimpangan tumbuh kembang dan mengetahui serta mengenal faktor resiko pada balita, yang disebut juga anak usia dini. (Tim Dirjen Pembinaan Kesmas. 1997)
Melalui deteksi dini dapat diketahui penyimpangan tumbuh kembang anak secara dini, sehingga upaya pencegahan, stimulasi, penyembuhan serta pemulihan dapat diberikan dengan indikasi yang jelas pada masa-masa kritis proses tumbuh kembang. Upaya-upaya tersebut diberikan sesuai dengan umur perkembangan anak, dengan demikian dapat tercapai kondisi tumbuh kembang yang optimal (Tim Dirjen Pembinaan Kesmas, 1997).
Penilaian pertumbuhan dan perkembangan meliputi dua hal pokok, yaitu penilaian pertumbuhan fisik dan penilaian perkembangan. Masing-masing penilaian tersebut mempunyai parameter dan alat ukur tersendiri. Dasar utama dalam menilai pertumbuhan fisik anak adalah penilaian menggunakan alat baku (standar). Untuk menjamin ketepatan dan keakuratan penilaian harus dilakukan dengan teliti dan rinci. Pengukuran perlu dilakukan dalam kurun waktu tertentu untuk menilai kecepatan pertumbuhan. (Tim Dirjen Pembinaan Kesmas, 1997 dan Narendra, 2003)

Parameter ukuran antropometrik yang dipakai dalam penilaian pertumbuhan fisik adalah tinggi badan, berat badan, lingkar kepala, lipatan kulit, lingkar lengan atas, panjang lengan, proporsi tubuh, dan panjang tungkai. Menurut Pedoman Deteksi Dini Tumbuh Kembang Balita (Tim Dirjen Pembinaan Kesmas, 1997) dan Narendra (2003) macam-macam penilaian pertumbuhan fisik yang dapat digunakan adalah:
1) Pengukuran Berat Badan (BB)
Pengukuran ini dilakukan secara teratur untuk memantau pertumbuhan dan keadaan gizi balita. Balita ditimbang setiap bulan dan dicatat dalam Kartu Menuju Sehat Balita (KMS Balita) sehingga dapat dilihat grafik pertumbuhannya dan dilakukan intervensi jika terjadi penyimpangan.
2) Pengukuran Tinggi Badan (TB)
Pengukuran tinggi badan pada anak sampai usia 2 tahun dilakukan dengan berbaring., sedangkan di atas umur 2 tahun dilakukan dengan berdiri. Hasil pengukuran setiap bulan dapat dicatat pada dalam KMS yang mempunyai grafik pertumbuhan tinggi badan.
3) Pengukuran Lingkar Kepala Anak (PLKA)
PLKA adalah cara yang biasa dipakai untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan otak anak. Biasanya ukuran pertumbuhan tengkorak mengikuti perkembangan otak, sehingga bila ada hambatan pada pertumbuhan tengkorak maka perkembangan otak anak juga terhambat. Pengukuran dilakukan pada diameter occipitofrontal dengan mengambil rerata 3 kali pengukuran sebagai standar.
Untuk menilai perkembangan anak banyak instrumen yang dapat digunakan. Salah satu instrumen skrining yang dipakai secara internasional untuk menilai perkembangan anak adalah DDST II (Denver Development Screening Test). DDST II merupakan alat untuk menemukan secara dini masalah penyimpangan perkembangan anak umur 0 s/d < 6 tahun, (Subbagian Tumbuh Kembang Ilmu Kesehatan Anak RS Sardjito, 2004). Instrumen ini merupakan revisi dari DDST yang pertama kali dipublikasikan tahun 1967 untuk tujuan yang sama.
Pemeriksaan yang dihasilkan DDST II bukan merupakan pengganti evaluasi diagnostik, namun lebih ke arah membandingkan kemampuan perkembangan seorang anak dengan anak lain yang seumur. DDST II digunakan untuk menilai tingkat perkembangan anak sesuai umurnya pada anak yang mempunyai tanda-tanda keterlambatan perkembangan maupun anak sehat. DDST II bukan merupakan tes IQ dan bukan merupakan peramal kemampuan intelektual anak di masa mendatang. Tes ini tidak dibuat untuk menghasilkan diagnosis, namun lebih ke arah untuk membandingkan kemampuan perkembangan seorang anak dengan kemampuan anak lain yang seumur.
Menurut Pedoman Pemantauan Perkembangan Denver II (Subbagian Tumbuh Kembang Ilmu Kesehatan Anak RS Sardjito, 2004), formulir tes DDST II berisi 125 item yang terdiri dari 4 sektor, yaitu: personal sosial, motorik halus-adaptif, bahasa, serta motorik kasar. Sektor personal sosial meliputi komponen penilaian yang berkaitan dengan kemampuan penyesuaian diri anak di masyarakat dan kemampuan memenuhi kebutuhan pribadi anak. Sektor motorik halus-adaptif berisi kemampuan anak dalam hal koordinasi mata-tangan, memainkan dan menggunakan benda-benda kecil serta pemecahan masalah. Sektor bahasa meliputi kemampuan mendengar, mengerti, dan menggunakan bahasa. Sektor motorik kasar terdiri dari penilaian kemampuan duduk, jalan, dan gerakan-gerakan umum otot besar.
B. GANGGUAN KETERLAMBATAN PERTUMBUHAN DAN  PERKEMBANGAN ANAK
Masalah yang sering timbul dalam pertumbuhan dan perkembangan anak meliputi gangguan keterlambatan pertumbuhan fisik, perkembangan motorik, bahasa, emosi, dan perilaku. (Soetjiningsih , 2003)
1. Gangguan Pertumbuhan Fisik
Gangguan pertumbuhan fisik meliputi gangguan pertumbuhan di atas normal dan gangguan pertumbuhan di bawah normal. Pemantauan berat badan menggunakan KMS (Kartu Menuju Sehat) dapat dilakukan secara mudah untuk mengetahui pola pertumbuhan anak. Menurut Soetjiningsih (2003) bila grafik berat badan anak lebih dari 120% kemungkinan anak mengalami obesitas atau kelainan hormonal. Sedangkan, apabila grafik berat badan di bawah normal kemungkinan anak mengalami kurang gizi, menderita penyakit kronis, atau kelainan hormonal. Lingkar kepala juga menjadi salah satu parameter yang penting dalam mendeteksi gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak. Ukuran lingkar kepala menggambarkan isi kepala termasuk otak dan cairan serebrospinal. Lingkar kepala yang lebih dari normal dapat dijumpai pada anak yang menderita hidrosefalus, megaensefali, tumor otak ataupun hanya merupakan variasi normal. Sedangkan apabila lingkar kepala kurang dari normal dapat diduga anak menderita retardasi mental, malnutrisi kronis ataupun hanya merupakan variasi normal. Deteksi dini gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran juga perlu dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya gangguan yang lebih berat. Jenis gangguan penglihatan yang dapat diderita oleh anak antara lain adalah maturitas visual yang terlambat, gangguan refraksi, juling, nistagmus, ambliopia, buta warna, dan kebutaan akibat katarak, neuritis optik, glaukoma, dan lain sebagainya. (Soetjiningsih, 2003). Sedangkan ketulian pada anak dapat dibedakan menjadi tuli konduksi dan tuli sensorineural. Menurut Hendarmin (2000), tuli pada anak dapat disebabkan karena faktor prenatal dan postnatal. Faktor prenatal antara lain adalah genetik dan infeksi TORCH yang terjadi selama kehamilan. Sedangkan faktor postnatal yang sering mengakibatkan ketulian adalah infeksi bakteri atau virus yang terkait dengan otitis media.
2. Gangguan perkembangan motorik
Perkembangan motorik yang lambat dapat disebabkan oleh beberapa hal. Salah satu penyebab gangguan perkembangan motorik adalah kelainan tonus otot atau penyakit neuromuskular. Anak dengan serebral palsi dapat mengalami keterbatasan perkembangan motorik sebagai akibat spastisitas, athetosis, ataksia, atau hipotonia. Kelainan sumsum tulang belakang seperti spina bifida juga dapat menyebabkan keterlambatan perkembangan motorik. Penyakit neuromuscular sepeti muscular distrofi memperlihatkan keterlambatan dalam kemampuan berjalan. Namun, tidak selamanya gangguan perkembangan motorik selalu didasari adanya penyakit tersebut. Faktor lingkungan serta kepribadian anak juga dapat mempengaruhi keterlambatan dalam perkembangan motorik. Anak yang tidak mempunyai kesempatan untuk belajar seperti sering digendong atau diletakkan di baby walker dapat mengalami keterlambatan dalam mencapai kemampuan motorik.
3. Gangguan perkembangan bahasa
Kemampuan bahasa merupakan kombinasi seluruh system perkembangan anak. Kemampuan berbahasa melibatkan kemapuan motorik, psikologis, emosional, dan perilaku (Widyastuti, 2008). Gangguan perkembangan bahasa pada anak dapat diakibatkan berbagai faktor, yaitu adanya faktor genetik, gangguan pendengaran, intelegensia rendah, kurangnya interaksi anak dengan lingkungan, maturasi yang terlambat, dan faktor keluarga. Selain itu, gangguan bicara juga dapat disebabkan karena adanya kelainan fisik seperti bibir sumbing dan serebral palsi. Gagap juga termasuk salah satu gangguan perkembangan bahasa yang dapat disebabkan karena adanya tekanan dari orang tua agar anak bicara jelas (Soetjingsih, 2003).
4. Gangguan Emosi dan Perilaku
Selama tahap perkembangan, anak juga dapat mengalami berbagai gangguan yang terkait dengan psikiatri. Kecemasan adalah salah satu gangguan yang muncul pada anak dan memerlukan suatu intervensi khusus apabila mempengaruh interaksi social dan perkembangan anak. Contoh kecemasan yang dapat dialami anak adalah fobia sekolah, kecemasan berpisah, fobia sosial, dan kecemasan setelah mengalami trauma. Gangguan perkembangan pervasif pada anak meliputi autisme serta gangguan perilaku dan interaksi sosial. Menurut Widyastuti (2008) autism adalah kelainan neurobiologist yang menunjukkan gangguan komunikasi, interaksi, dan perilaku. Autisme ditandai dengan terhambatnya perkembangan bahasa, munculnya gerakan-gerakan aneh seperti berputar-putar, melompat-lompat, atau mengamuk tanpa sebab.

C.     PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN
1. Pengertian pertumbuhan dan perkembangan
Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan masalah perubahan ukuran, besar, jumlah atau dimensi pada tingkat sel, organ maupun individu. Pertumbuhan bersifat kuantitatif sehingga dapat diukur dengan satuan berat (gram, kilogram), satuan panjang (cm, m), umur tulang, dan keseimbangan metabolik (retensi kalsium dan nitrogen dalam tubuh). (Soetjiningsih, 1998; Tanuwijaya, 2003).
 Perkembangan (development) adalah pertambahan kemampuan struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks. Perkembangan menyangkut adanya proses diferensiasi sel-sel, jaringan, organ, dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya. (Soetjiningsih, 1998; Tanuwijaya, 2003).
Pertumbuhan mempunyai ciri-ciri khusus, yaitu perubahan ukuran, perubahan proporsi, hilangnya ciri-ciri lama, serta munculnya ciri-ciri baru. Keunikan pertumbuhan adalah mempunyai kecepatan yang berbeda-beda di setiap kelompok umur dan masing-masing organ juga mempunyai pola pertumbuhan yang berbeda. Terdapat 3 periode pertumbuhan cepat, yaitu masa janin, masa bayi 0 – 1 tahun, dan masa pubertas. (Widyastuti, D, dan Widyani, R. 2001)
Proses perkembangan terjadi secara simultan dengan pertumbuhan, sehingga setiap pertumbuhan disertai dengan perubahan fungsi. Perkembangan merupakan hasil interaksi kematangan susunan saraf pusat dengan organ yang dipengaruhinya. Perkembangan fase awal meliputi beberapa aspek kemampuan fungsional, yaitu kognitif, motorik, emosi, sosial, dan bahasa. Perkembangan pada fase awal ini akan menentukan perkembangan fase selanjutnya. Kekurangan pada salah satu aspek perkembangan dapat mempengaruhi aspek lainnya.
2. Tahap Pertumbuhan dan Perkembangan
Tumbuh kembang anak berlangsung secara teratur, saling berkaitan, dan
berkesinambungan dimulai sejak pembuahan sampai dewasa. Walaupun terdapat variasi, namun setiap anak akan melewati suatu pola tertentu. Tanuwijaya (2003) memaparkan tentang tahapan tumbuh kembang anak yang terbagi menjadi dua, yaitu masa pranatal dan masa postnatal. Setiap masa tersebut memiliki ciri khas dan perbedaan dalam anatomi, fisiologi, biokimia, dan karakternya.
Masa pranatal adalah masa kehidupan janin di dalam kandungan. Masa ini dibagi menjadi dua periode, yaitu masa embrio dan masa fetus. Masa embrio adalah masa sejak konsepsi sampai umur kehamilan 8 minggu, sedangkan masa fetus adalah sejak umur 9 minggu sampai kelahiran. (Soetjiningsih, 1998)
Masa postnatal atau masa setelah lahir terdiri dari lima periode. Periode pertama adalah masa neonatal dimana bayi berusia 0 - 28 hari dilanjutkan masa bayi yaitu sampai usia 2 tahun. Masa prasekolah adalah masa anak berusia 2 – 6 tahun. Sampai dengan masa ini, anak laki-laki dan perempuan belum terdapat perbedaan, namun ketika masuk dalam masa selanjutnya yaitu masa sekolah atau masa pubertas, perempuan berusia 6 – 10 tahun, sedangkan laki-laki berusia 8 - 12 tahun. Anak perempuan memasuki masa adolensensi atau masa remaja lebih awal dibanding anak laki-laki, yaitu pada usia 10 tahun dan berakhir lebih cepat pada usia 18 tahun. Anak laki-laki memulai masa pubertasa pada usia 12 tahun dan berakhir pada usia 20 tahun. (Soetjiningsih, 1998)
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Pertumbuhan dan Perkembangan
Banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Secara garis besar faktor-faktor tersebut dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu faktor dalam (internal) dan faktor luar (eksternal/lingkungan). Pertumbuhan dan perkembangan merupakan hasil interaksi dua faktor tersebut. (Soetjiningsih, 1998; Tanuwijaya, 2003).
Faktor internal terdiri dari perbedaan ras/etnik atau bangsa, keluarga, umur, jenis kelamin, kelainan genetik, dan kelainan kromosom. Adanya suatu kelainan genetik dan kromosom dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak, seperti yang terlihat pada anak yang menderita Sindroma Down.
Faktor eksternal juga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Contoh faktor lingkungan yang banyak mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak adalah gizi, stimulasi, psikologis, dan sosial ekonomi.
Gizi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap proses tumbuh kembang anak. Sebelum lahir, anak tergantung pada zat gizi yang terdapat dalam darah ibu. Setelah lahir, anak tergantung pada tersedianya bahan makanan dan kemampuan saluran cerna. Hasil penelitian tentang pertumbuhan anak Indonesia (Sunawang, 2002) menunjukkan bahwa kegagalan pertumbuhan paling gawat terjadi pada usia 6-18 bulan. Penyebab gagal tumbuh tersebut adalah keadaan gizi ibu selama hamil, pola makan bayi yang salah, dan penyakit infeksi.
Perkembangan anak juga dipengaruhi oleh stimulasi dan psikologis. Rangsangan/stimulasi khususnya dalam keluarga, misalnya dengan penyediaan alat mainan, sosialisasi anak, keterlibatan ibu dan anggota keluarga lain akan mempengaruhi anak dalam mencapai perkembangan yang optimal. Seorang anak yang keberadaannya tidak dikehendaki oleh orang tua atau yang selalu merasa tertekan akan mengalami hambatan di dalam pertumbuhan dan perkembangan.
Faktor lain yang tidak dapat dilepaskan dari pertumbuhan dan perkembangan anak adalah faktor sosial ekonomi. Kemiskinan selalu berkaitan dengan kekurangan makanan, kesehatan lingkungan yang jelek, serta kurangnya pengetahuan. (Tanuwijaya, 2003).

D.   DETEKSI DINI GANGGUAN KETERLAMBATAN PERTUMBUHAN   DAN PERKEMBANGAN PADA ANAK
Deteksi dini merupakan upaya penjaringan yang dilaksanakan secara komprehensif untuk menemukan adanya penyimpangan pertumbuhan dan perkembangan, dan juga mengetahui serta mengenal faktor resiko pada anak. Melalui deteksi dini dapat diketahui penyimpangan tumbuh kembang anak secara dini, sehingga upaya pencegahan, stimulasi, penyembuhan serta pemulihan dapat diberikan dengan indikasi yang jelas pada masa-masa kritis proses tumbuh kembang.
Gangguan keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan pada anak dapat diketahui yaitu dengan melakukan penilaian awal, adapun yang harus diketahui meliputi penilaian gangguan pertumbuhan fisik, perkembangan motorik, bahasa, emosi, dan perilaku. Perkembangan anak juga dipengaruhi oleh stimulasi dan psikologis. Rangsangan/stimulasi khususnya dalam keluarga, misalnya dengan penyediaan alat mainan, sosialisasi anak, keterlibatan ibu dan anggota keluarga lain akan mempengaruhi anak dalam mencapai perkembangan yang optimal.














BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pertumbuhan dan perkembangan merupakan suatu proses yang diawali dari konsepsi (pembuahan) sampai pematangan atau dewasa. Melalui proses tersebut anak tumbuh menjadi lebih besar dan bertambah matang dalam segala aspek baik fisik, emosi, intelektual, maupun psikososial. Apabila terdapat suatu masalah dalam proses tersebut maka yang akan berakibat terhambatnya anak mencapai tingkat tumbuh kembang yang sesuai dengan usianya. Apabila gangguan ini berlanjut maka akan menjadi suatu bentuk kecacatan yang menetap pada anak. Namun, apabila sejak dini gangguan tumbuh kembang sudah terdeteksi, maka kita dapat melakukan suatu intervensi sesuai dengan kebutuhan anak. Melalui intervensi yang dilakukan sejak dini itulah tumbuh kembang anak pada tahap selanjutnya dapat berjalan dengan lebih baik.
Gangguan pertumbuhan dan perkembangan merupakan masalah yang banyak dijumpai di masyarakat, sehingga sangatlah penting apabila semua komponen yang terlibat dalam tumbuh kembang anak, yaitu orang tua, guru, dan masyarakat dapat bekerja sama dalam melakukan pemantauan sejak dini. Tujuan akhir dari pemantauan dini gangguan tumbuh kembang anak ini tentunya adalah harapan kita dalam terwujudnya generasi harapan bangsa yang lebih baik dan berkualitas.

B. Saran
      1.            Untuk orang tua agar lebih cermat dan teliti dalam mendeteksi gangguan keterlambatan tumbuh kembang pada anak.
      2.            Jika dalam deteksi dini ditemukan gangguan keterlambatan harus cepat menentukan intervensi untuk anak.
      3.            Dalam melakukan deteksi dini pada anak harus bekerja sama dari beberapa  komponen seperti orang tua, guru dan masyarakat.






















DAFTAR PUSTAKA

Cameron, N. 2002. Human Growth and Development. California: Academic Press
Narendra, M. B. 2003. Penilaian Pertumbuhan dan Perkembangan Anak. Jakarta:   EGC.

Meadow, R dan Newll, S. 2002. Lecture Notes Pediatrica. Jakarta: Erlangga.
Setiati, T. E., et al (ed). 1997. Tumbuh Kembang Anak dan Masalah Kesehatan Terkini. Semarang: Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Kariadi.

Soetjiningsih. 1998. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC.
Soetjiningsih. 2003. Perkembangan Anak dan Permasalahannya. Jakarta: EGC.
Soepardi, E. A. dan Iskandar, N (ed). 2000. Buku Ajar Telinga Hidung Tenggorok. Edisi ke-4.Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Subbagian Tumbuh Kembang. 2004. Pemantauan Perkembangan Denver II. Yogyakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUGM/RS Sardjito.

Suyitno, H, dan Narendra, M. B. 2003. Pertumbuhan Fisik Anak. Jakarta: EGC.
Tanuwijaya, S. 2003. Konsep Umum Tumbuh dan Kembang. Jakarta: EGC
Tim Dirjen Pembinaan Kesmas. 1997. Pedoman Deteksi Dini Tumbuh Kembang Balita. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Widyastuti, D, dan Widyani, R. 2001. Panduan Perkembangan Anak 0 Sampai 1 Tahun.Jakarta: Puspa Swara.